Djaduk Ferianto dan Butet Kertaradjasa adalah paket komplit. Musikus handal dan pemain teater mumpuni. Lewat musiknya, Djaduk selalu berhasil menghidupkan suasana dalam pertunjukan Teater Gandrik, serta komedi satir Sentilan-Sentilun yang diperankan oleh Butet dan Slamet Rahardjo di salah satu stasiun televisi swasta nasional.
Djaduk mengandalkan kekuatan musik dengan basis etnisitas yang kuat. Maklum, ia lahir dan dibesarkan di Yogyakarta, dari ayah seorang seniman jempolan bernama Bagong Kussudiardja. Djaduk menjadi contoh ideal tentang musisi sukses yang tidak memiliki latar belakang pendidikan seni musik formal. Ia musisi otodidak, bersentuhan dengan dunia musik lebih pada persoalan bakat. Oleh karena itu karya-karyanya seringkali mengejutkan, keluar dari apa yang disebut "pakem" atau aturan-aturan musikal yang selama ini dipegang teguh oleh musisi tradisi.
Karya-karya Djaduk, terutama lewat kelompok Kua Etnika, seringkali terlihat "main-main", dengan menekankan aksen-aksen bunyi yang kuat, keras, cepat, dan mengentak. Disuguhkan dengan suasana riang gembira, tidak jarang juga terkesan lucu atau mbanyol. Tapi dari yang main-main itu sejatinya dilandasi dengan proses yang serius. Kekompakan musikal menjadi harga mati yang tak dapat ditawar. Bayangkan saja, semua musisi memainkan satu pola melodi yang sama dengan tempo yang sangat rapat. Satu saja salah, maka akan terlihat di mata dan terdengar di telinga penonton.
Melodi itu seringkali di luar kelaziman; iramanya berubah-ubah, temponya tak konstan, banyak pukulan-pukulan yang off-beat. Hal itu menyebabkan terbentuknya pola yang bernuansa sinkopasi, sangat sulit untuk dilakukan musisi kebanyakan tanpa proses latihan yang ketat dan lama. Oleh karena itu, karya-karya musik Kua Etnika terlalu sulit untuk ditiru. Semua karya-karya baru yang dihasilkan itu bersumber pada tradisi sebagai pijakan.
Djaduk menyakini adanya "ruang kosong" atau "ruang ketiga" dalam musik tradisi. Ruang kosong itu adalah interpretasi atau tafsir baru. Tradisi hanya menjadi katalisator, menghubungkan pada temuan-temuan nada anyar yang liyan. Sebuah peristiwa yang bagi Homi Bhabha, pemikir postmoderisme, disebut sebagai "ambang liminalitas". Bukankah tradisi selama ini selalu dipertentangkan dengan apa yang disebut modern? Musik pun demikian, selalu ada dikotomi hitam dan putih, yang tradisi dan yang populer (kata lain dari modern). Djaduk berupaya menolak kebakuan dikotomi tersebut. Baginya ada "titik antara" yang belum tersentuh dari tradisi dan yang modern itu.
Titik antara itu adalah hibriditas, perpaduan antara keduanya. Dengan demikian, walaupun karya-karya yang disuguhkan mengais-ngais tradisi sebagai sumber, tapi selalu menghasilkan sajian baru yang segar, kekinian, dan tentu saja monumental. Bahkan tidak jarang terasa lebih "nge-pop" dibanding musik pop saat ini.
Demikian halnya dalam kancah musik kontemporer, Djaduk adalah salah satu komposer yang patut diperhitungkan. Musiknya menjadi lintas batas, enak didengarkan oleh generasi kiwari, namun tidak terkesan kacangan. Diterima pasar dengan mudah, tapi mengandung jejak wacana musikal yang boleh dikata berat. Dengan demikian, menikmati karya Djaduk tak cukup dengan hanya didengar, tapi juga dipikirkan. Karya-karya demikian menjadi kritik bagi perkembangan musik terkini, yang seringkali hanya mengandalkan sensasi berupa tema asmara dan cinta picisan, tapi dangkal dalam mengambangkan sisi musikalitas lebih jauh.
Djaduk adalah garansi bagi musik Indonesia bermutu. Uniknya, temuan ide-ide kekaryaan tidak terjadi dalam sebuah laboratorium formal di kelas-kelas musik, tapi lewat pengembaraan hidup. Sebagaimana dikisahkan oleh Butet Kertaradjasa lewat status Facebook-nya sesaat setelah adik bungsunya itu meninggal dunia karena sakit jantung, Rabu (13/11) kemarin, Djaduk begitu gembira karena berhasil menemukan melodi untuk karya terbarunya.
Temuan itu terjadi di puncak Table Montain, Afrika Selatan, 30 September lalu. Segera ia bersiul dan bersenandung, kemudian direkam lewat smartphone miliknya. Temuan melodi melebihi segalanya, puncak kebahagiaan bagi seorang komposer. Terjadi secara tak terduga, di tempat yang tak terduga pula. Djaduk memandang bahwa alam-dunia adalah sebuah "ikhtiar laku berproses" untuk mencari dan menemukan sesuatu hal penting dalam musiknya.
Kebanyakan karya-karya Djaduk berangkat dari fenomena musikal. Satu melodi pokok sederhana dikembangkan lagi menjadi lebih kompleks dan rigit, begitu seterusnya. Ia sedikit-banyak melawan kecenderungan arus penciptaan musik (kontemporer) mutakhir yang mencoba menghubung-hubungkan karya dengan fenomena kehidupan sebagai konsep, alih-alih menjadi koreksi dan kritik sosial, tapi melupakan kekayaan-kekuatan garap musikal, sehingga terkesan monoton, datar dan menjemukan.
Kesimpulannya, Djaduk memberikan kebebasan tafsir seluas-luasnya bagi publik. Ia tak hendak mengekang lewat dalih-dalih apapun tentang karyanya. Karya itu seperti cawan kosong, yang dapat diisi dengan imajinasi apapun oleh pendengarnya. Djaduk membuka kemungkinan yang tak terbatas itu. Dan kini kita patut berduka atas kematiannya di usia yang ke-55 tahun. Kita kehilangan salah satu komposer paling fenomenal di negeri ini. Selamat jalan, Djaduk!
Aris Setiawan etnomusikolog, pengajar di ISI Surakarta
(mmu/mmu)
"Karya" - Google Berita
November 14, 2019 at 11:58AM
https://ift.tt/2XbI6xz
Djaduk dan Karya Musiknya - detikNews
"Karya" - Google Berita
https://ift.tt/2V1hiPo
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Djaduk dan Karya Musiknya - detikNews"
Post a Comment