Keterbatasan berubah menjadi kekuatan. Itulah yang ditularkan para penyandang disabilitas yang mengikuti Festival Bebas Batas. Tema Meneroka Batas benar-benar tercurahkan ke dalam karya yang beragam penuh luapan emosi.
SHABRINA PARAMACITRA, Solo, Jawa Pos
—
DINI Hariyanti berjalan perlahan ke sisi belakang Pendapa ISI Surakarta. Perutnya mual. Kerongkongannya berat karena isak tangis yang tertahan. Pembukaan Festival Bebas Batas Minggu malam itu (10/11) membuat perasaannya campur aduk.
Bangga, senang, haru, sekaligus sedih.
Sang suami, Taufiq Muwardi, menyambut istrinya itu dan lantas duduk di lantai pendapa. Dia memeluk dan menghapus air mata yang mulai membasahi pipi istrinya.
’’Aku minder ketemu teman-teman peserta yang lain. Mereka menghadapi cobaan yang lebih berat dibanding aku. Tapi, mereka lebih kuat,’’ kata Dini.
Dia melihat sekeliling. Dari 28 peserta pameran seni rupa yang terpilih untuk memamerkan karya dalam festival itu, Dini merasa tak ada apa-apanya. Menjadi pengidap skizoafektif, menurut dia, masih lebih ringan jika dibandingkan dengan yang dialami peserta festival yang lain.
Skizoafektif adalah gangguan mental antara gejala skizofrenia (halusinasi, delusi) dan gejala gangguan suasana hati seperti perubahan mood yang drastis. Dini minder karena merasa tak sekuat peserta yang tuli, autis, polio, disleksia, disabilitas daksa, dan lain-lain. Padahal, menurut suaminya, sebenarnya Dini juga sosok yang kuat. Hanya, dia tak menyadari itu.
Festival Bebas Batas yang berlangsung lima hari tersebut digelar khusus untuk memamerkan karya para penyandang disabilitas. Mereka diseleksi secara nasional, lalu diberi ruang untuk memamerkan karya seni. Dini memamerkan lukisan berjudul Mantra.
Lukisan itu didominasi warna cerah. Sekilas, tampak memuat bentuk menyerupai kuman. Ada pula lambang psikologi yang berbentuk trisula dan lafal Allah. ’’Lukisan ini memuat temons. Teman-teman monster. Tapi, ada juga luapan zikir yang aku ucapkan ketika temons itu datang merasuki pikiranku,’’ ungkap Dini sambil menghapus air matanya.
Lukisan tersebut dibuat ketika perempuan 29 tahun itu mengalami fase depresi. Sebagai orang yang memiliki bipolar disorder, Dini tak bisa lepas dari fase depresi dan mania. Depresi membuatnya merasa down, sedih, dan seakan tak punya harapan hidup. Ketika berada dalam fase mania, dia merasa begitu happy, berenergi luar biasa, dan sangat bersemangat.
Temons adalah luapan pikiran negatif yang hadir saat Dini depresi. Pikiran buruk itu bisa berupa banyak hal. Misalnya, merasa dilupakan, tidak dicintai, atau gagal yang kadang membuatnya ingin mengakhiri hidup.
Namun, perasaan itu dilawannya. Dengan berbagai terapi, obat, serta usaha mendekatkan diri kepada Tuhan. ’’Aku terus melukis dan berzikir melawan diriku sendiri. Akhirnya, Tuhan memampukanku, memberiku kekuatan untuk mencapai titik stabil,’’ ucap Dini.
Creative content writer di perusahaan media dan analisis data di Jakarta itu lantas tersenyum. Suaranya tak lagi terhadang isak tangis. Melukis menjadi salah satu terapi yang membawa dampak positif bagi Dini. Tidak hanya bisa meluapkan emosi, tapi juga memberinya prestasi.
Pada 2017, Dini meraih juara II lomba melukis Hari Perempuan Internasional di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dia juga telah tiga kali mengikuti pameran lukisan di TIM sejak tahun itu.
Menumpahkan emosi ke dalam karya lukis juga dilakoni Sadikin Pard. Sebagai pelukis profesional yang menekuni karir sejak 1989, melukis sudah menjadi jati diri Sadikin. Memamerkan karya berjudul Rindu Rumah Allah, dia berusaha mengekspresikan kerinduannya pada Tanah Suci Makkah.
Lukisan beraliran impresionisme itu memuat gambar Kakbah yang dikelilingi jamaah. Goresan-goresan dalam lukisan itu sekilas tampak samar. Namun, gambar Kakbah yang menjadi pusat lukisan tetap jelas tersimpulkan. Lukisan itu didominasi warna cerah. ’’Warna cerah itu menggambarkan harapan. Keceriaan. Itulah yang ingin saya bawa dalam lukisan saya,’’ tutur Sadikin.
Pada 2016 Sadikin bersama Tini, sang istri, beribadah umrah. Penyandang disabilitas daksa itu sama sekali tak merasakan kendala kendati kondisi kedua tangannya tidak sempurna. Tubuhnya yang mungil juga tak membuatnya kesusahan untuk menjalankan ibadah. Malahan, dia merasa amat disayang orang-orang di sekitarnya saat itu.
Ketika salat, tiba-tiba ada jamaah yang memasukkan uang ke dalam sakunya dari belakang. Ketika dia hendak membeli kurma, cokelat, dan oleh-oleh lainnya, eh diberi gratis. ’’Pokoknya, saya merasa rahmat Allah sangat besar kepada saya,’’ ungkapnya.
Nama Sadikin Pard sendiri bukanlah sosok asing di jagat seni rupa Indonesia. Dia adalah salah seorang associate member The Association of Mouth and Foot Painting Artists of The World (AMFPA) yang berpusat di Swiss. Sadikin sering mengikuti berbagai event seni dan berkolaborasi bersama pelukis nasional maupun internasional.
’’Artinya, lukisan-lukisan saya tidak dipandang sebagai karya disabilitas lagi, tapi sudah disejajarkan dengan pelukis lain pada umumnya,’’ ujar ayah dua anak itu.
Sadikin lebih sering melukis dengan menggunakan kaki. Terkadang, ketika sesi live painting, dia juga menggunakan mulut. Banyak yang suka lukisannya. Itulah yang membuatnya percaya diri. ’’Jadi cacat itu bukan rintangan. Orang cacat dan tidak cacat itu sama, setara,’’ tegasnya bangga.
Festival Bebas Batas yang mengangkat tajuk Meneroka Batas tidak hanya memamerkan seni rupa penyandang disabilitas. Berbagai diskusi dan workshop juga digelar untuk mengedukasi masyarakat mengenai keberadaan dan ruang ekspresi penyandang disabilitas.
Festival itu juga memamerkan karya para pasien gangguan mental dari RSJ Prof Dr Soerojo Magelang, RSJ Menur Surabaya, RS Ernaldi Bahar Palembang, RS Dr H Marzoeki Mahdi Bogor, serta RSJ Arif Zainudin Solo.
Lukisan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak kalah menarik. Salah satunya karya pasien RSJ Menur Surabaya. Lukisan itu terbagi dalam dua sisi. Sisi kiri didominasi warna merah dengan tulisan berbagai perasaan positif. Di antaranya, normal, acceptable, loving, honest, calm, wise, dan happy. Di sisi satu lagi yang berwarna biru, tercantum kata-kata emosi negatif. Ada confused, guilty, alone, depressed, sad, drug dependent, dan sederet kata lain.
Melihat lukisan itu mengingatkan pada kata-kata Dini saat wawancara. ’’Aku bisa berubah dari sedih ke bahagia, dari marah ke ceria, hanya dalam hitungan detik,’’ katanya. Lukisan pasien RSJ Menur itu menggambarkan perasaan Dini.
"Karya" - Google Berita
November 20, 2019 at 05:04PM
https://ift.tt/33ZzZqp
Festival Bebas Batas Tempat Karya Penyandang Disabilitas - Jawa Pos
"Karya" - Google Berita
https://ift.tt/2V1hiPo
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Festival Bebas Batas Tempat Karya Penyandang Disabilitas - Jawa Pos"
Post a Comment