Lima dekade sudah, komunitas seni Ludruk Karya Budaya eksis di tengah maraknya budaya pop Tanah Air. Mereka bertahan dengan tetap konsisten mempertahankan pakem. Pasang surut juga telah mereka lalui, khususnya saat listrik masuk ke desa-desa.
Jumat (15/11/2019) malam, Ludruk Karya Budaya tampil di Lapangan Dusun Rembu, Desa Japanan, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Penampilan mereka menjadi salah satu andalan dalam Festival Chaitra Majapahit 2019 yang didukung oleh Platform Kebudayaan Indonesiana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Dua jam sebelum pertunjukan dimulai, para pemain terlihat sibuk merias diri di belakang panggung. Saat itu pula, antusiasme penonton sudah terlihat. Para penonton tampak menyembulkan kepala mereka di sela-sela kain penutup tenda.
Di pelataran panggung, penonton lain juga sibuk menggelar tikar di titik-titik strategis untuk mendapatkan visual terbaik. Salah satunya adalah Suparli dan suaminya dari Desa Bendung, Kecamatan Jetis. Kendati acara dimulai pukul 21.00, mereka sudah datang ke lokasi sejak pukul 18.00.
Malam itu, Ludruk Karya Budaya membawakan lakon ”Amukti Palapa”, yang naskahnya ditulis dan disutradarai oleh Syakirun atau lebih dikenal sebagai Kirun, legenda hidup ludruk. Lakon tersebut mengisahkan tentang awal mula penobatan Raja Hayam Wuruk dan panglima perangnya, Gadjah Mada, pada era Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Dalam pementasan tersebut digambarkan bahwa Gadjah Mada saat itu enggan datang ke istana dalam upacara penobatan Raja Hayam Wuruk. Ia lebih memilih membaur bersama rakyat kecil di luar istana. Hal itu dilakukan karena ia merasa tak pantas menikmati kemewahan istana, sedangkan rakyat berpanas-panasan di luar.
”Lakon ini memuat pesan, seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan rakyatnya,” kata Pemimpin Ludruk Karya Budaya, Eko Edy Susanto.
Sementara itu, bagian keempat dari lakon ”Amukti Palapa” menjadi bagian yang paling ditunggu-tunggu oleh penonton. Bagian ini menampilkan dagelan khas ludruk yang berisi guyonan arek Jawa Timuran. Berkali-kali tawa penonton terdengar membahana berkat lawakan dari Cak Liwon, Cak Memet, dan Cak Tawar.
Pasang surut
Edy menuturkan bahwa eksistensi ludruk mengalami pasang surut sesuai dengan rezim penguasa. Ludruk sendiri merupakan kesenian turunan. Pada akhir masa Kerajaan Majapahit, pernah tumbuh kesenian Bandan yang memamerkan kekuatan fisik, mirip seperti debus. Seiring berjalannya waktu, Bandan mulai diiringi musik, tata rias dan tarian.
Pada sekitar abad ke-17 dan ke-18, kesenian tersebut mulai mengenal lakon. Jadilah kesenian ini berubah nama menjadi Seni Besutan yang dimainkan oleh empat orang. Muatan cerita kemudian mulai disematkan pada abad ke-19 dan menjelma menjadi sandiwara ludruk.
Cerita yang dibawakan ludruk saat itu memang cerita bebas. Meski begitu, cerita ludruk tidak pernah terlepas dari muatan kritik sosial. Inilah alasannya ludruk amat digemari oleh rakyat kecil. Ludruk selalu mewakili unek-unek mereka, terlebih pada masa pra-kemerdekaan dan sesudahnya.
Saking getolnya mengkritik, ludruk bahkan pernah dibubarkan pada pemerintahan Orde Baru. Tepatnya pada 1965, kesenian ini dianggap sebagai Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) besutan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Beruntungnya, hal itu tak bertahan lama. Ludruk kembali dibangkitkan dua tahun setelahnya. Kebangkitannya saat itu dimulai dari instansi TNI dan Polri mulai dari kodim, kodam, polres atau markas Brimob. Namun, fungsi ludruk bergeser. Mereka yang tadinya mengkritik, justru menjadi corong pemerintah.
”Pada awal kebangkitannya tersebut muatan ludruk berisi tentang progam-program pemerintah seperti rencana pembangunan lima tahun atau keluarga berencana,” tambah Edy.
Ludruk Karya Budaya muncul melalui binaan Polsek Jetis, Mojokerto sekitar 1969, oleh Cak Bantu. Baru sekitar 1970-an, komunitas-komunitas ludruk masyarakat kembali bermunculan. Tidak menunggu ”ditanggap” untuk hajatan, saat itu ludruk dimainkan kapan pun di lapangan. Penonton yang menonton diwajibkan untuk membayar karcis masuk.
Ludruk, termasuk karya budaya, kembali mengalami masa surut pada tahun 1990-an. Tepatnya saat televisi masuk ke desa-desa. Menurut Edy, masyarakat saat itu cenderung memilih hiburan televisi yang gratis dibandingkan dengan harus merogoh kocek untuk menonton ludruk. Tak sedikit komunitas hiburan seperti ludruk atau ketoprak yang bangkrut kala itu.
”Saat itu, lampu tambah padang, ludruk tambah ilang (lampu semakin terang, ludruk semakin hilang),” celoteh Edy.
Lampu dianggap menandai masuknya aliran listrik, yang juga diiringi dengan siaran televisi. Dulunya, ludruk kerap dimainkan di kota-kota. Namun, saat listrik masuk, mereka bergeser ke pinggiran kota. Saat pinggiran kota dialiri listrik, mereka pun bergeser ke desa. Puncaknya, saat desa mulai dialiri listrik, mereka bergeser hingga ke pinggiran hutan.
Kini, para komunitas ludruk hanya bisa unjuk gigi saat ada masyarakat yang menyewa atau menanggap mereka. Ludruk biasa tampil di upacara ritual keagamaan, orang punya hajat atau peringatan ulang tahun lembaga pemerintahan.
”Saya pernah mengantarkan Pak Memet main ke sebuah desa di kaki pegunungan. Jalan hanya muat untuk satu mobil,” kata Johan, mantan sopir pribadi Cak Memet, pemain Ludruk Karya Budaya.
Pertahankan pakem
Kini, komunitas ludruk di Jawa Timur tak banyak yang masih bertahan. Menurut Edy, jumlahnya tak kurang dari 70 komunitas. Meski begitu, hanya beberapa yang mendapat hati di masyarakat. Perkembangan budaya pop menjadi salah satu tantangannya.
Salah satu kunci yang menjadikan Komunitas Ludruk Karya Budaya dapat bertahan selama 50 tahun adalah mereka mampu mempertahankan pakem. Mereka dengan konsisten mempertahankan struktur ludruk, yakni remo, bedoyo, dagelan, dan lakon yang dipadukan dengan kidungan.
Kidungan adalah gaya menembang khas Jawa Timuran. Secara teknis tidak mudah melakukan kidung karena harus menyesuaikan dengan iringan gending. ”Mojokerto, tretek terusan Kali Gede, dalane prau. Dadi joko ojo dodol kebagusan, nyambut gawe sing paling perlu,” kata Edy.
Menurut dia, banyak komunitas ludruk yang menambahkan budaya-budaya di luar karakter ludruk dalam pementasan mereka. Misalnya, memasukkan tarian ular. Selain itu, musik pengiringnya tidak hanya menggunakan alat musik pentatonis, tetapi juga diatonis seperti organ.
”Kalau saya tetap mempertahankan pakem sehingga siapa pun yang kangen dengan khasnya ludruk akan mencari Karya Budaya,” ujarnya.
Pada bulan-bulan tertentu, seperti Agustus, Ludruk Karya Budaya bisa mementaskan hingga 25 kali pergelaran. Saat ini, mereka memiliki sekitar 78 pemain dan kru. Beberapa di antaranya bahkan masih duduk di bangku kuliah.
Salah satu pemain Ludruk Karya Budaya, Ari Setiawan (Arimbi), mengaku sudah mencintai ludruk sejak SMA. Baginya, kepuasan materi menjadi pemain ludruk bukan hal utama yang ia ingin dapatkan. Menjadi pemain ludruk adalah sebuah kebanggaan baginya.
”Pendapatan menjadi pemain tidak akan cukup tentunya, tetapi saya sudah kadung cinta. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya saat ini masih bekerja sebagai anggota staf di Universitas Airlangga Surabaya,” ujarnya.
Sebagai penerus tongkat estafet ayahnya, sang pendiri Ludruk Karya Budaya, harapan Edy kini tak muluk-muluk. Ia ingin kesenian ludruk tetap lestari. Baginya, ludruk sudah kadung menjadi napas dari arek Jawa Timuran.
"Karya" - Google Berita
November 17, 2019 at 03:40PM
https://ift.tt/2Qr2Lw9
Ludruk Karya Budaya, Eksis dalam Remang-remang - kompas.id
"Karya" - Google Berita
https://ift.tt/2V1hiPo
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ludruk Karya Budaya, Eksis dalam Remang-remang - kompas.id"
Post a Comment