Search

Sengketa Pajak Perbedaan Interpretasi Tarif PPh Badan Kontrak Karya - DDTC News

Akan tetapi, otoritas pajak menganggap tarif yang digunakan wajib pajak tidak tepat. Penetapan tarif seharusnya dilakukan berdasarkan PKP2B. Pada perjanjian tersebut diatur tarif progresif untuk PPh Badan sebesar 10%, 15%, atau 30% berdasarkan penghasilan kena pajaknya. Atas dasar penilaian tersebut, otoritas pajak melakukan koreksi SPT PPh badan masa pajak November 2014.

Baca Juga: Ini Alasan DJP Tidak Perpanjang Deadline Lapor SPT Tahunan WP Badan

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya gugatan yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK. Berikut ulasan selengkapnya.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan yang dilakukan otoritas pajak. Hakim Pengadilan Pajak berpendapat pembentukan PKP2B dilakukan pada saat UU No. 10/1994 berlaku.

Baca Juga: Pengajuan Insentif Bisa Online, DJP Pakai Data SPT 2018. Sudah Lapor?

Namun, apabila terdapat perubahan terhadap peraturan a quo maka segala aturan yang berlaku juga mengikuti perubahan yang ada. Oleh karena itu, ketika UU No. 10/1994 diubah dengan UU No. 36/2008 maka ketentuan dalam PKP2B juga mengikuti perubahan peraturan yang ada.

Penetapan tarif PPh badan tunduk pada UU. No 36/2008, yaitu sebesar 25%, sudah benar. Otoritas pajak telah salah menetapkan Surat Tagihan Pajak (STP) masa pajak November 2014 sehingga harus dibatalkan. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya dan menyatakan jumlah pajak yang masih harus dibayar adalah nihil.

Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 70596/PP/M.XVIA/99/2016 tertanggal 3 Mei 2016, otoritas pajak secara tertulis mengajukan PK ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 16 Agustus 2016.

Baca Juga: Mau Nikmati Tarif PPh Badan 22%? DJP: Segera Lapor SPT Tahunan

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah terkait dikabulkannya gugatan wajib pajak atas pembatalan STP PPh Pasal 25 masa pajak November 2014 oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut. Majelis hakim pengadilan pajak dianggap telah memberikan pertimbangan hukum yang keliru dan mengabaikan fakta hukum serta peraturan yang berlaku.

Baca Juga: Wah, Pengajuan Insentif Pajak Gaji Karyawan Bisa Lewat DJP Online

Menurut Pemohon PK, pajak atas penghasilan pada pasal 14 angka 3 PKP2B diatur secara jelas mengenai tarif pajak, lapisan pajak, dan penghasilan kena pajak. Perjanjian tersebut dibuat berdasarkan UU No. 10/1994. Tarif pajak yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan terutang berdasarkan UU No. 10/1994 juncto pasal 14 angka 3 PKP2B yaitu sebesar 10%, 15%, atau 30% berdasarkan penghasilan kena pajaknya.

Berdasarkan pasal 33A ayat (4) UU No. 10/1994, untuk wajib pajak yang menjalankan usaha berdasarkan kontrak karya, tarif pajaknya tetap mengikuti ketentuan kontrak karya sampai dengan berakhirnya perjanjian.

Dengan adanya aturan baru tidak serta merta tarif PPh badan terhadap wajib pajak yang menggunakan kontrak karya ikut berubah. Perubahan tarif harus melalui aturan pelaksana berupa peraturan pemerintah atau Keputusan Menteri Keuangan.

Baca Juga: Penanganan Corona: Tarif PPh Badan Dipangkas (1)

Pemohon menyatakan bahwa belum diterbitkannya aturan pelaksana sehingga tarif PPh badan masih menggunakan tarif yang ditetapkan dalam PKP2B. Seharusnya, wajib pajak tidak membuat penafsiran sendiri bahwa tarif PPh badan yang digunakan sebesar 25% karena UU No. 36/2008.

Pemohon berdalih bahwa PKP2B merupakan lex specialis dalam hal penghitungan PPh badan. Selain itu, perjanjian ini juga berlaku asas pacta sunt servanda. Perjanjian ini harus dijunjung tinggi sebagai bentuk aturan setingkat undang-undang yang sifatnya mengikat pihak-pihak dalam perjanjian.

Di sisi lain, Termohon PK menjelaskan penghitungan PPh masa pajak November 2014 dilakukan berdasarkan UU No. 36/2008, yang merupakan aturan terbaru. Berdasarkan UU tersebut, penetapan tarif PPh terutang digunakan tarif tunggal, yaitu 25%. Penetapan tarif tersebut sudah benar dan seharusnya tidak dilakukan koreksi atas PPh Pasal 25 oleh otoritas pajak.

Baca Juga: DJP: Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Ini Pakai Tarif 22%

Pertimbangan Mahkamah Agung

ALASAN-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan karena putusan Pengadilan Pajak No. 1930/B/PK/PJK/2017 sudah tepat dan benar. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil yang diajukan, argument Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan.

Dalam perkara a quo gugatan Penggugat cukup berdasar serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak juga sudah benar. Koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dipertahankan. Koreksi tersebut tidak sesuai dengan pasal 29 ayat (2) alinea ketiga UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juncto Pasal 33A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Baca Juga: Pemangkasan Tarif PPh Badan dan Perpanjangan WFH DJP Terpopuler

Hakim tidak menemukan keputusan yang bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 91 huruf e UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, pajak yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi sebesar nihil.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga dinyatakan ditolak. Pemohon PK juga dihukum untuk membayar biaya perkara dalam sengketa ini.

Putusan dapat diakses melalui laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini. (Disclaimer)

Baca Juga: Sengketa Pajak atas Kewajaran Besaran Tarif Royalti Transfer Pricing

Akan tetapi, otoritas pajak menganggap tarif yang digunakan wajib pajak tidak tepat. Penetapan tarif seharusnya dilakukan berdasarkan PKP2B. Pada perjanjian tersebut diatur tarif progresif untuk PPh Badan sebesar 10%, 15%, atau 30% berdasarkan penghasilan kena pajaknya. Atas dasar penilaian tersebut, otoritas pajak melakukan koreksi SPT PPh badan masa pajak November 2014.

Baca Juga: Ini Alasan DJP Tidak Perpanjang Deadline Lapor SPT Tahunan WP Badan

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya gugatan yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK. Berikut ulasan selengkapnya.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan yang dilakukan otoritas pajak. Hakim Pengadilan Pajak berpendapat pembentukan PKP2B dilakukan pada saat UU No. 10/1994 berlaku.

Baca Juga: Pengajuan Insentif Bisa Online, DJP Pakai Data SPT 2018. Sudah Lapor?

Namun, apabila terdapat perubahan terhadap peraturan a quo maka segala aturan yang berlaku juga mengikuti perubahan yang ada. Oleh karena itu, ketika UU No. 10/1994 diubah dengan UU No. 36/2008 maka ketentuan dalam PKP2B juga mengikuti perubahan peraturan yang ada.

Penetapan tarif PPh badan tunduk pada UU. No 36/2008, yaitu sebesar 25%, sudah benar. Otoritas pajak telah salah menetapkan Surat Tagihan Pajak (STP) masa pajak November 2014 sehingga harus dibatalkan. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya dan menyatakan jumlah pajak yang masih harus dibayar adalah nihil.

Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 70596/PP/M.XVIA/99/2016 tertanggal 3 Mei 2016, otoritas pajak secara tertulis mengajukan PK ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 16 Agustus 2016.

Baca Juga: Mau Nikmati Tarif PPh Badan 22%? DJP: Segera Lapor SPT Tahunan

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah terkait dikabulkannya gugatan wajib pajak atas pembatalan STP PPh Pasal 25 masa pajak November 2014 oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut. Majelis hakim pengadilan pajak dianggap telah memberikan pertimbangan hukum yang keliru dan mengabaikan fakta hukum serta peraturan yang berlaku.

Baca Juga: Wah, Pengajuan Insentif Pajak Gaji Karyawan Bisa Lewat DJP Online

Menurut Pemohon PK, pajak atas penghasilan pada pasal 14 angka 3 PKP2B diatur secara jelas mengenai tarif pajak, lapisan pajak, dan penghasilan kena pajak. Perjanjian tersebut dibuat berdasarkan UU No. 10/1994. Tarif pajak yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan terutang berdasarkan UU No. 10/1994 juncto pasal 14 angka 3 PKP2B yaitu sebesar 10%, 15%, atau 30% berdasarkan penghasilan kena pajaknya.

Berdasarkan pasal 33A ayat (4) UU No. 10/1994, untuk wajib pajak yang menjalankan usaha berdasarkan kontrak karya, tarif pajaknya tetap mengikuti ketentuan kontrak karya sampai dengan berakhirnya perjanjian.

Dengan adanya aturan baru tidak serta merta tarif PPh badan terhadap wajib pajak yang menggunakan kontrak karya ikut berubah. Perubahan tarif harus melalui aturan pelaksana berupa peraturan pemerintah atau Keputusan Menteri Keuangan.

Baca Juga: Penanganan Corona: Tarif PPh Badan Dipangkas (1)

Pemohon menyatakan bahwa belum diterbitkannya aturan pelaksana sehingga tarif PPh badan masih menggunakan tarif yang ditetapkan dalam PKP2B. Seharusnya, wajib pajak tidak membuat penafsiran sendiri bahwa tarif PPh badan yang digunakan sebesar 25% karena UU No. 36/2008.

Pemohon berdalih bahwa PKP2B merupakan lex specialis dalam hal penghitungan PPh badan. Selain itu, perjanjian ini juga berlaku asas pacta sunt servanda. Perjanjian ini harus dijunjung tinggi sebagai bentuk aturan setingkat undang-undang yang sifatnya mengikat pihak-pihak dalam perjanjian.

Di sisi lain, Termohon PK menjelaskan penghitungan PPh masa pajak November 2014 dilakukan berdasarkan UU No. 36/2008, yang merupakan aturan terbaru. Berdasarkan UU tersebut, penetapan tarif PPh terutang digunakan tarif tunggal, yaitu 25%. Penetapan tarif tersebut sudah benar dan seharusnya tidak dilakukan koreksi atas PPh Pasal 25 oleh otoritas pajak.

Baca Juga: DJP: Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Ini Pakai Tarif 22%

Pertimbangan Mahkamah Agung

ALASAN-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan karena putusan Pengadilan Pajak No. 1930/B/PK/PJK/2017 sudah tepat dan benar. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil yang diajukan, argument Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan.

Dalam perkara a quo gugatan Penggugat cukup berdasar serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak juga sudah benar. Koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dipertahankan. Koreksi tersebut tidak sesuai dengan pasal 29 ayat (2) alinea ketiga UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juncto Pasal 33A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Baca Juga: Pemangkasan Tarif PPh Badan dan Perpanjangan WFH DJP Terpopuler

Hakim tidak menemukan keputusan yang bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 91 huruf e UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, pajak yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi sebesar nihil.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga dinyatakan ditolak. Pemohon PK juga dihukum untuk membayar biaya perkara dalam sengketa ini.

Putusan dapat diakses melalui laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini. (Disclaimer)

Baca Juga: Sengketa Pajak atas Kewajaran Besaran Tarif Royalti Transfer Pricing

Let's block ads! (Why?)



"Karya" - Google Berita
April 06, 2020 at 08:20PM
https://ift.tt/2Xgtwqy

Sengketa Pajak Perbedaan Interpretasi Tarif PPh Badan Kontrak Karya - DDTC News
"Karya" - Google Berita
https://ift.tt/2V1hiPo

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sengketa Pajak Perbedaan Interpretasi Tarif PPh Badan Kontrak Karya - DDTC News"

Post a Comment

Powered by Blogger.