Boyolali, Gatra.com – Melalui pelatihan keterampilan yang tepat dan telaten, penyandang disabilitas dapat mandiri dan mengembangkan potensi. Sejumlah difabel di Boyolali menjadi potret hal itu lewat produk batik tulis.
Mata Sri Lestari tak lepas dari selembar kain di hadapannya. Menggenggam canting, tangannya bolak balik dari kompor listrik berisi malam cair, ke dekat mulutnya yang pelan-pelan meniup, lalu ke kain untuk menorehkan cairan di ujung canting itu. Lambat laun, di atas sehelai kain itu, terbentuk pola batik kawung.
Sehelai kain polos di depannya itu pun siap menjalani proses selanjutnya hingga menjadi batik tulis yang cantik. Dalam bentuk kemeja, produk batik dengan pewarna alami itu dibanderol Rp700 ribu, sedangkan untuk selendang Rp550 ribu.
Selama membatik, Sri tak bersuara. Namun sebelum itu, dengan percaya diri Sri memperkenalkan diri melalui bahasa isyarat. “Saya belajar membatik. Saya juga belajar bahasa isyarat di sini,” kata perempuan tuli ini melalui bahasa isyarat.
Jumat (20/9) siang itu, saat ditemui di Desa Tawangsari, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, Sri tak sendirian membatik. Ada Darmawan alias Wawan penyandang cerebral palsy, Siti Marifatul atau Ifa yang menderita gangguan bicara, dan Bu Tari yang mengalami cacat kakinya.
Para difabel perajin batik ini tergabung di Difablepreneur ‘Sriekandi Patra’. Di Desa Tawangsari, jumlah penyandang disabilitas terbilang banyak. Pada 2018, jumlahnya 29 orang. Dari jumlah itu, hanya dua orang yang menempuh pendidikan formal. Kebanyakan adalah penyandang tuna grahita yang hanya berdiam di rumah.
Suatu kali, pada medio 2017, seorang penderita cerebral palsy, Yuni Lestari, dibawa ke pusat rehabilitasi di Daerah Istimewa Yogyakarta atas bantuan program tanggung jawab sosial atau CSR PT Pertamina Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Boyolali. Tak berhenti di situ, Yuni juga menjalani terapi psikososial dan melakoni pelatihan keterampilan.
Yuni pun berlatih membatik selama tiga bulan. Setelah lumayan mahir, ia bahkan bekerja membatik di Bantul, DIY. Suatu kali, Yuni kangen kampung halamannya. Ketika mudik itulah, Yuni ingin mengajari teman-teman disabilitasnya keterampilan membatik.
Setelah coba mengajak sejumlah difabel, empat orang—Sri, Wawan, Ifa, dan Tari-- bergabung. Komunitas Sriekandi Patra pun terbentuk pada 9 April 2018. Mereka belajar dan mengerjakan batik di rumah Sri Maryatun, warga Tawangsari yang rela menyediakan tempat membuat dan memajang batik, sekaligus mendampingi para difabel itu.
“Ibu-ibu melihat mereka tak punya pekerjaaan dan di rumah saja nonton tivi. Siapa yang mau tanggung jawab (melatih), enggak ada yang mau. Ya sudah kami ikhlas mau membantu,” kata Maryatun yang mendampingi para difabel bersama empat ibu-ibu desa itu.
Satu lembar batik tulis biasanya dikerjakan selama 10-15 hari. Sri dan para difabel membatik pada jam 9.00-15.00 selama lima hari dalam sepekan. Namun jadwal ini luwes saja. Tak ada target khusus bagi para difabel ini untuk menyelesaikan batiknya. “Kadang masih tergantung mood,” kata Maryatun.
Maklum saja, sebagian penyandang disabilitas masih beradaptasi dengan kondisi psikologis dan tanggung jawab kerja mereka. Mereka sebelumnya jarang berinteraksi dengan orang lain.
Saat diajak bergabung di program ini, sejumlah keluarga difabel tak setuju. Ada orang tua difabel melarang anaknya keluar rumah, khawatir merepotkan orang lain, bahkan menyembunyikan dan tak mengakuinya sebagai anak.
Petugas CSR pun harus membujuk keluarga hingga setuju. Untuk itu, tim harus menjemput dan mengantar pulang difabel 2-3 kilometer dari lokasi komunitas. Namun setelah tahu perkembangan anak difabelnya, orang tua pun luluh.
Apalagi para penyandang disabilitas ini punya tekad kuat untuk mandiri. Ifa, misalnya, rela bangun kala subuh dan memberesi pekerjaan rumahnya sebelum membatik. Wawan, usia 16 tahun dan berhenti sekolah sejak SMP, semangat berangkat membatik dengan kursi roda dan akan memasarkan batik di media sosial dan vlog.
Bu Tari pun rela membayar tetangganya untuk mengantar ke tempat membatik. “Padahal sudah 30 tahun saya tidak keluar rumah. Sampai bingung karena desa sudah berubah semua,” tutur dia sembari tetap membatik.
Dengan ketekunan itu, para penyandang difabel telah menghasilkan berbagai motif batik Nusantara, termasuk gaya kombinasi dan kreasi baru. Seragam pekerja PT Pertamina TBBM Boyolali dengan motif anyar ‘Lembu Patra’ yang dikenakan tiap hari Rabu juga buah kreasi para difabel.
Batik-batik tulis buah karya difabel juga mengangkat ekonomi mereka. Dengan omzet sekitar Rp50 juta tahun lalu dan Rp17 juta selama 2019 ini, penyandang disabilitas memperoleh pendapatan atas tiap karya mereka. Hasil itu juga untuk kas, tambahan modal, hingga membeli peralatan difabel seperti kursi roda milik Wawan.
“Mindset masyarakat yang dulu menganggap mereka sebagai aib sekarang terbuka dan kagum karena mereka bisa mandiri dan punya potensi,” ujar Community Development Officer PT Pertamina TBBM Boyolali Noor Azharul Fuad.
Lurah Tawangsari Yayuk Tutiek Supriyanti menyatakan telah berkoordinasi dengan tiga desa untuk mendata para penyandang disabilitas. Selama ini mereka tak tercatat secara detail dan hanya dikategorikan sebagai warga miskisn. “Para difabel lain juga akan diajak berpartisipasi sehingga lebih mandiri dan produktif,” kata dia.
Apalagi PT Pertamina TBBM Boyolali telah menyiapkan tempat workshop di desa itu dan mulai aktif pada Oktober 2019. Dengan begitu, lebih banyak penyandang disabilitas bisa berlatih keterampilan dan memberdayakan diri.
“Sebelumnya teman-teman difabel ini dianggap bukan siapa-siapa, tapi sekarang sudah dipandang satu level. Kita sendiri pun belum tentu bisa bikin batik,” kata Operation Head PT Pertamina Terminal BBM Boyolali Mangku Hidayat Basuki.
Editor: A. Hernawan
"Karya" - Google Berita
September 22, 2019 at 11:41AM
https://ift.tt/30DVWZH
Melihat Batik-batik Cantik Karya Difabel Boyolali | Gaya Hidup - Gatra
"Karya" - Google Berita
https://ift.tt/2V1hiPo
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Melihat Batik-batik Cantik Karya Difabel Boyolali | Gaya Hidup - Gatra"
Post a Comment